A. SEJARAH
SASTRA INDONESIA
Sejarah
Sastra adalah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri
mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan
sejarah politik di wilayah tersebut. Bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa
turunan dari bahasa Melayu. Sedangkan Sastra Indonesia adalah sastra berbahasa
Indonesia yang menghasilkan banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan
naskah drama berbahasa Indonesia. Namun, banyak perdebatan dengan pengertian
tersebut karena pada kenyataanya telah berkembang sastra-sastra daerah yaitu :
1) daerah Batak, 2) daerah Sunda, 3) daerah Jawa, 4) daerah Bali, 5) daerah
Bugis, 6) daerah Toraja, 7) daerah Lombok, dan sebagainya. Paparan singkat
tersebut memberikan gambaran bahwa isitilah sastra Indonesia ternyata tidak
bermakna tunggal. Oleh karena itu, perlu adanya keseepakatan normative agar
jelas maknanya dalam konteks pengkajian tertentu. Pada tahun 1930 masalah
sejarah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra
Indonesia sebagaimana terbaca dalam Polemik
Kebudayaan suntingan Achdiat K. Miharja (1977).
Takdir
Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas
dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjuk pada semangat keindonesiaan yang
baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Namun, pendapat
tersebut disanggah oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa keindonesiaan itu
sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang belum
terbentuk adalah bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya
sudah ada.
Pada
tahun 1940 semakin tampak kesadaran terhadap sejarah sastra Indonesia ketika
S.Takdir Alisjahbana menulis Puisi Baru
(1946) dan H.B. Jassin menyusun antalogi Gema
Tanah Air (1948) dan Kesusastraan
Indonesia di Masa Jepang (1948).
Takdir berpendapat bahwa perkenalan masyarakat bangsa Indonesia dengan bangsa
Eropa selama berabad-abad telah menimbulkan perubahan besar dalam gaya hidup
dan pemikiran sehingga pada abad ke-19 boleh dikatakan bangsa Indonesia telah
memasuki zaman modern, selain itu H.B. Jassin mengatakan bahwa penikmatan
hasil-hasil kesusastraan bukan lagi hanya tentang keindahan bahasa, tetapi juga
perlu pengetahuan latar belakang kemasyarakatan dan kesejarahan.
Dari
kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan terhadap kesusastraan
Indonesia tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan kemasyarakatan. Selain
itu pada buku Teeuw, Pokok dan Tokoh
dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1952) dijelaskan bahwa pembicaraan awal
tentang sastra Indonesia pasti terkait dengan sejarah pertumbuhan bahasa Melayu
yang bermula pada awal abad ke-7 sampai menjadi bahasa Indonesia pada awal abad
ke-20.
Masalah
bahasa pada zaman dahulu sangat rumit karena selain bahasa Melayu ada juga
bahasa daerah yang penting. Namun lambat laun bahasa Melayu akan menjadi bahasa
perundingan atau bahasa persatuan satu-satunya bagi bangsa Indonesia dan
kebudayaan Indonesia di masa dating akan
dilahirkan dalam bahasa tersebut. Tokoh-tokoh pergerakan nasional dan pemuda
terpelajar adalah perintis dan pembuka jalan lahirnya sastra Indonesia.
Bakri
Siregar menegaskan bahwa masa awal sastra Indonesia modern tidak bias
dipisahkan dari masalah masyarakat dan bangsa Indonesia dalam perkembangan
sejarahnya dan dengan alat sastra itulah tampak kesadaran social dan politik
bangsa Indonesia pada awal abad ke-20. Dengan demikian sastra Indonesia modern bermula
dengan lahirnya kesadaran nasional. Hal tersebut tercermin dalam hasil-hasil
sastrawan dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Pada
awal abad ke-20 politik Belanda melaksanakan politik etis sebagai tebusan
politik tanam paksa yang sudah menyengsarakan kehidupan rakyat jajahan.. Hal
tersebut menimbulkan reaksi keras dari para pemimpin nasional Indonesia yang
kemudian giat memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan nasional.
Sehingga para tokoh Indonesia yang dulunya berpidato dan menulis menggunakan
bahasa Belanda lantas beralih ke Bahasa Indonesia. Dari penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan sastra Indonesia tidak terpisahkan dari
dinamika sosial budaya masyarakat pemangkunya pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20.
Hingga
sekarang sejarah sastra Indonesia telah berlangsung lama dengan perkembangan
yang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Akan tetapi
pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masih terbilang sedikit dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai,
dan apresiasi satra. Oleh karena itu perlu diadakan peninjauan kembali terhadap
pemikiran dan telaah terdahulu agar diperbolehkan kebenaran sejarah sejarah.
Banyak fakta yang mengecoh dan lebih banyak yang ditenggelamkan. Semakin lama
membiarkan persoalan ini tanpa adanya usaha untuk memperbaiki maka sama halnya
membiarkan sejarah sastra Indonesia dalam keadaan karut-marut.
B. PERIODISASI
SEJARAH SASTRA INDONESIA
Periodisasi sastra selalu
terjadi dalam beberapa kurun waktu tertentu. Biasanya terjadi sebab perpindahan
generasi dan jenis sastra. Beberapa orang membagi karya sastra dengan beberapa
periode.
Secara
garis besar Ajip Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai
berikut.
1. Masa
Kelahiran atau Masa Kebangkitan
a) period
awal hingga 1933,
b) period
1933 – 1942, dan
c) period
1942 – 1945.
2. Masa
Perkembangan
a) period
1945 – 1953,
b) period
1953 – 1961, dan
c) period
1961 – 1968.
Sejarah
sastra Indonesia sudah mencapai usia ratusan tahun karena perbedaan – perbedaan
kecil yang sekarang tampak dan menjadi alasan pembabakan waktu baru itu
kelihatan dan keseluruhan waktu yang setengah abad itu tidak mustahil hanya
menjadi dua period saja.
Pembagian zaman atau periodisasi
sastra Indonesia modern sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan karena
belum ada suatu pembabakan waktu yang bias diterima oleh para sastrawan. Bukti
dari penolakan para sastrawan adalah banyaknya pembabakan waktu yang sudah
ditawarkan dalam pengkajian sejarah sastra Indonesia selalu kembali pada nama –
nama angkatan yang biasanya bertolak pada usia sastrawan sezaman.
Telah tercatat enam angkatan yang
muncul dalam rentang waktu 10 – 15 tahun. Susunannya adalah sebagai berikut.
1. Sastra
Awal (1900-an).
2. Sastra
Balai Pustaka (1920 - 1942).
3. Sastra
Pujangga Baru (1930 - 1942).
4. Sastra
Angkatan 45 (1942 - 1955).
5. Sastra
Generasi Kisah (1955 - 1965).
6. Sastra
Generasi Horison (1966 - sekarang).
Setelah
meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B. Jassin, Boejoeng Saleh,
Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko
Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Periode
Balai Pustaka (1920 - 1940).
2. Periode
Pujangga Baru (1930 - 1945).
3. Periode
Angkatan 45 (1940 - 1955).
4. Periode
Angkatan 50 (1950 - 1970).
5. Periode
Angkatan 70 (1965 – 1984).
Ciri – ciri intrinsik dan ekstrinsik
setiap periode adalah sebagai berikut.
1.
Periode Balai Pustaka (1920 - 1940) jenis sastra yang utama adalah roman dengan permasalahan adat kawin paksa
dan permaduan, pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, berlatar
daerah, pedesaan atau kehidupan daerah dan belum mempersoalkan cita – cita
kebangsaan.
2.
Periode Pujangga Baru (1930 - 1945) dominannya sastra puisi dan mulai banyak
cerita pendek dan drama yang pada umumnya beraliran romantik karena pengaruh
Gerakan 80 di Belanda.
3.
Periode Angkatan 45 (1940 - 1955) semakin berkembangnya puisi, cerpen, novel,
dan drama dengan suasana perang.
4.Periode
Angkatan 50 (1950 - 1970) adanya kesadaran baru di kalangan sastrawan untuk
memikirkan masalah – masalah kemasyarakatan dalam suasana kemerdekaan sehingga
para sastrawan memulai membuat karya tentang kebudayaan Indonesia sendiri yang
coraknya bermacam – macam karena pengaruh dunia politik.
5.Periode
angkatan 70 (1965 - 1984) pada periode ini warna politik telah bergeser karena
berkembangnya sastra pop secara literer tidak menunjukkan adanya perkembangan
sastra.
Rachmat
Djoko Pradopo (1995:34) menyimpulkan bahwa dalam penulisan sejarah sastra
hendaknya diuraikan ciri – ciri struktur estetik dan ekstra estetik secara
terperinci atau lebih luas disertai contoh – contoh setiap butir ciri tersebut
sehingga tampak jelas bagaimana wujud karya sastra setiap angkatan atau periode
sastra.
Daftar Pustaka : Yudhiono K.S , Sejarah
Sastra Indonesia , Pengantar Sastra Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar