Rabu, 06 Mei 2015

Ringkasan Sejarah Sastra Indonesia


A.    SEJARAH SASTRA INDONESIA
Sejarah Sastra adalah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah politik di wilayah tersebut. Bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa turunan dari bahasa Melayu. Sedangkan Sastra Indonesia adalah sastra berbahasa Indonesia yang menghasilkan banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Namun, banyak perdebatan dengan pengertian tersebut karena pada kenyataanya telah berkembang sastra-sastra daerah yaitu : 1) daerah Batak, 2) daerah Sunda, 3) daerah Jawa, 4) daerah Bali, 5) daerah Bugis, 6) daerah Toraja, 7) daerah Lombok, dan sebagainya. Paparan singkat tersebut memberikan gambaran bahwa isitilah sastra Indonesia ternyata tidak bermakna tunggal. Oleh karena itu, perlu adanya keseepakatan normative agar jelas maknanya dalam konteks pengkajian tertentu. Pada tahun 1930 masalah sejarah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebudayaan suntingan Achdiat K. Miharja (1977).
Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjuk pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Namun, pendapat tersebut disanggah oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa keindonesiaan itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang belum terbentuk adalah bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada.
Pada tahun 1940 semakin tampak kesadaran terhadap sejarah sastra Indonesia ketika S.Takdir Alisjahbana menulis Puisi Baru (1946) dan H.B. Jassin menyusun antalogi Gema Tanah Air (1948) dan Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948). Takdir berpendapat bahwa perkenalan masyarakat bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa selama berabad-abad telah menimbulkan perubahan besar dalam gaya hidup dan pemikiran sehingga pada abad ke-19 boleh dikatakan bangsa Indonesia telah memasuki zaman modern, selain itu H.B. Jassin mengatakan bahwa penikmatan hasil-hasil kesusastraan bukan lagi hanya tentang keindahan bahasa, tetapi juga perlu pengetahuan latar belakang kemasyarakatan dan kesejarahan.
Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan terhadap kesusastraan Indonesia tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan kemasyarakatan. Selain itu pada buku Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1952) dijelaskan bahwa pembicaraan awal tentang sastra Indonesia pasti terkait dengan sejarah pertumbuhan bahasa Melayu yang bermula pada awal abad ke-7 sampai menjadi bahasa Indonesia pada awal abad ke-20.
Masalah bahasa pada zaman dahulu sangat rumit karena selain bahasa Melayu ada juga bahasa daerah yang penting. Namun lambat laun bahasa Melayu akan menjadi bahasa perundingan atau bahasa persatuan satu-satunya bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia di  masa dating akan dilahirkan dalam bahasa tersebut. Tokoh-tokoh pergerakan nasional dan pemuda terpelajar adalah perintis dan pembuka jalan lahirnya sastra Indonesia.
Bakri Siregar menegaskan bahwa masa awal sastra Indonesia modern tidak bias dipisahkan dari masalah masyarakat dan bangsa Indonesia dalam perkembangan sejarahnya dan dengan alat sastra itulah tampak kesadaran social dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke-20. Dengan demikian sastra Indonesia modern bermula dengan lahirnya kesadaran nasional. Hal tersebut tercermin dalam hasil-hasil sastrawan dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Pada awal abad ke-20 politik Belanda melaksanakan politik etis sebagai tebusan politik tanam paksa yang sudah menyengsarakan kehidupan rakyat jajahan.. Hal tersebut menimbulkan reaksi keras dari para pemimpin nasional Indonesia yang kemudian giat memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan nasional. Sehingga para tokoh Indonesia yang dulunya berpidato dan menulis menggunakan bahasa Belanda lantas beralih ke Bahasa Indonesia. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan sastra Indonesia tidak terpisahkan dari dinamika sosial budaya masyarakat pemangkunya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Hingga sekarang sejarah sastra Indonesia telah berlangsung lama dengan perkembangan yang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Akan tetapi pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masih terbilang sedikit  dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi satra. Oleh karena itu perlu diadakan peninjauan kembali terhadap pemikiran dan telaah terdahulu agar diperbolehkan kebenaran sejarah sejarah. Banyak fakta yang mengecoh dan lebih banyak yang ditenggelamkan. Semakin lama membiarkan persoalan ini tanpa adanya usaha untuk memperbaiki maka sama halnya membiarkan sejarah sastra Indonesia dalam keadaan karut-marut.
B.     PERIODISASI SEJARAH SASTRA INDONESIA
Periodisasi sastra selalu terjadi dalam beberapa kurun waktu tertentu. Biasanya terjadi sebab perpindahan generasi dan jenis sastra. Beberapa orang membagi karya sastra dengan beberapa periode.
Secara garis besar Ajip Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut.
1.      Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan
a)      period awal hingga 1933,
b)      period 1933 – 1942, dan
c)      period 1942 – 1945.
2.      Masa Perkembangan
a)      period 1945 – 1953,
b)      period 1953 – 1961, dan
c)      period 1961 – 1968.
Sejarah sastra Indonesia sudah mencapai usia ratusan tahun karena perbedaan – perbedaan kecil yang sekarang tampak dan menjadi alasan pembabakan waktu baru itu kelihatan dan keseluruhan waktu yang setengah abad itu tidak mustahil hanya menjadi dua period saja.
            Pembagian zaman atau periodisasi sastra Indonesia modern sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan karena belum ada suatu pembabakan waktu yang bias diterima oleh para sastrawan. Bukti dari penolakan para sastrawan adalah banyaknya pembabakan waktu yang sudah ditawarkan dalam pengkajian sejarah sastra Indonesia selalu kembali pada nama – nama angkatan yang biasanya bertolak pada usia sastrawan sezaman.
            Telah tercatat enam angkatan yang muncul dalam rentang waktu 10 – 15 tahun. Susunannya adalah sebagai berikut.
1.      Sastra Awal (1900-an).
2.      Sastra Balai Pustaka (1920 - 1942).
3.      Sastra Pujangga Baru (1930 - 1942).
4.      Sastra Angkatan 45 (1942 - 1955).
5.      Sastra Generasi Kisah (1955 - 1965).
6.      Sastra Generasi Horison (1966 - sekarang).

Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B. Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut.
1.      Periode Balai Pustaka (1920 - 1940).
2.      Periode Pujangga Baru (1930 - 1945).
3.      Periode Angkatan 45 (1940 - 1955).
4.      Periode Angkatan 50 (1950 - 1970).
5.      Periode Angkatan 70 (1965 – 1984).
Ciri – ciri intrinsik dan ekstrinsik setiap periode adalah sebagai berikut.
1. Periode Balai Pustaka (1920 - 1940) jenis sastra yang utama adalah  roman dengan permasalahan adat kawin paksa dan permaduan, pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, berlatar daerah, pedesaan atau kehidupan daerah dan belum mempersoalkan cita – cita kebangsaan.
2. Periode Pujangga Baru (1930 - 1945) dominannya sastra puisi dan mulai banyak cerita pendek dan drama yang pada umumnya beraliran romantik karena pengaruh Gerakan 80 di Belanda.
3. Periode Angkatan 45 (1940 - 1955) semakin berkembangnya puisi, cerpen, novel, dan drama dengan suasana perang.
4.Periode Angkatan 50 (1950 - 1970) adanya kesadaran baru di kalangan sastrawan untuk memikirkan masalah – masalah kemasyarakatan dalam suasana kemerdekaan sehingga para sastrawan memulai membuat karya tentang kebudayaan Indonesia sendiri yang coraknya bermacam – macam karena pengaruh dunia politik.
5.Periode angkatan 70 (1965 - 1984) pada periode ini warna politik telah bergeser karena berkembangnya sastra pop secara literer tidak menunjukkan adanya perkembangan sastra.
Rachmat Djoko Pradopo (1995:34) menyimpulkan bahwa dalam penulisan sejarah sastra hendaknya diuraikan ciri – ciri struktur estetik dan ekstra estetik secara terperinci atau lebih luas disertai contoh – contoh setiap butir ciri tersebut sehingga tampak jelas bagaimana wujud karya sastra setiap angkatan atau periode sastra.

Daftar Pustaka : Yudhiono K.S , Sejarah Sastra Indonesia , Pengantar Sastra Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar